Ringkasan talk show "Kiat sukses menjadi course creator"

Ringkasan talk show "Kiat sukses menjadi course creator"

Ringkasan talk show "Kiat sukses menjadi course creator"

  • Widhi Muttaqien

  • 19 minute read

Tanggal 25 April 2024, BINUS University mengundang saya mengisi kegiatan talk show di gedung kampus Anggrek, Jakarta Barat. Selain saya, pihak BINUS juga mengundang bapak Giri Suhardi selaku Head of Udemy Indonesia. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 100-an lebih peserta baik itu yang onsite maupun yang daring via Zoom. Kebanyakan peserta adalah dosen dan sebagian kecil dari staf MOOC (Massive Open Online Course) BINUS.

Bagaimana Bapak Widhi memulai perjalanan sebagai course creator? Apa yang menjadi motivasi untuk memulai membuat kursus online?

Jujur saya dulu “kecebur” atau tidak sengaja mengenal Udemy. Awalnya saya hanya ingin memanfaatkan platform Udemy saja. Dan tidak benar-benar mengharapkan mendapatkan income dari Udemy. Jadi ceritanya begini. Sejak tahun 2014, saya sering mengadakan workshop full-day di akhir pekan. Dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore, hari Sabtu-Ahad dan atau di hari libur. Topiknya seputar computer graphics, seperti 3ds Max, Blender 3D, Photoshop, Illustrator, SketchUp, After Effects, dan sebagainya. Saya tidak punya tempat khusus, jadi memang sengaja nomaden atau gerilya. Jadi kadang di kafe di daerah Tangerang. Kadang di coworking-space di daerah Depok. Kadang di resto di daerah Bekasi. Kadang saya diberikan tempat gratis oleh pemerintah DKI Jakarta timur di gedung pertemuan di daerah PIK Pulo Gadung, dan pernah juga ruangan lab komputer oleh departemen tenaga kerja Indonesia.

Nah, masalahnya adalah ketika murid selesai mengikuti workshop saya. Tidak ada cara bagi mereka untuk kembali mengulang pelajarannya di rumah. Saya tidak bisa menggunakan YouTube. Karena meskipun saya bisa buat videonya jadi “unlisted”, tetap saja video itu bisa di-share ke orang lain yang tidak mengikuti workshop. Saat itu juga penyedia layanan video hosting harganya cukup mahal. Belum semurah dan sebanyak tersedia sekarang ini. Intinya, saat itu Udemy adalah opsi yang paling tepat. Saya tidak perlu keluar uang sama sekali untuk bisa host konten video saya. Saya bisa memberikan murid-murid workshop saya coupon code gratis untuk mengakses materi pelajarannya. Saat itu, kalau tidak salah, jumlah Udemy users dari Indonesia baru sekitar puluhan ribu orang. Tidak banyak jika dibandingkan dengan total users dari negara-negara lain. Tapi anehnya, setelah beberapa bulan course saya live di Udemy. Course saya tentang 3ds Max yang berbahasa Indonesia, ada yang membeli. Saya dapat 10 dolar saat itu. Nah ini yang membuat saya jadi penasaran. Kok bisa, course berbahasa Indonesia terjual, padahal Udemy mayoritasnya adalah English speaking users dan authors. Saat itu memang Udemy belum fokus dengan pasar Indonesia dan belum resmi membuka cabangnya di Indonesia. Karena penasaran, saya coba translate course saya yang berbahasa Indonesia itu ke dalam English. Dalam waktu 1 bulan kurang course versi English-nya selesai saya buat. Memang lebih cepat prosesnya dibanding membuat versi bahasa Indonesianya, karena videonya sudah ada. Jadi hanya tinggal mengolah audionya saja. Bulan pertama, alhamdulillah, course tersebut menghasilkan 1 juta rupiah lebih. Bulan kedua menghasilkan 2 juta lebih. Bulan ketiga menghasilkan 3 juta lebih. Dan seterusnya fluktuatif naik turun di angka sekitar 3-4 juta per bulan. Bahkan course saya waktu itu mendapatkan status “best seller”. Yaitu course 3ds Max terbaik berbahasa Inggris untuk topik visualisasi 3D arsitektur.

Dari kesuksesan kursus saya yang pertama ini, saya termotivasi untuk membuat berbagai kursus yang lainnya. Saya membuat online courses tentang cara membuat ilustrasi menggunakan adobe Photoshop. Lalu vector illustration menggunakan adobe Illustrator. Kemudian 3D modeling dan look development menggunakan Blender. Kemudian desain rumah menggunakan SketchUp. Ketika Udemy sudah fokus menggarap pasar di Indonesia, saya juga membuat kursus online tentang Microsoft Excel dalam bahasa Indonesia, yang alhamdulillah menjadi best seller juga. Dan berbagai kursus lainnya. Intinya adalah sebagian besar online courses saya berbahasa Inggris. Sebagian kecilnya dalam bahasa Indonesia karena memang Udemy masih relatif baru menggarap pasar di Indonesia saat itu. 

Sampai saat ini saya sudah merilis 11 online courses dalam English, dan 6 courses dalam bahasa Indonesia di Udemy. Alhamdulillah, hampir semua courses yang saya rilis menjadi “best seller” atau “highest rated”. Atau minimal berada di halaman pertama hasil search di Udemy. Selain di Udemy saya juga merilis courses saya yang berbahasa Inggris di banyak platform. Di SkillShare saya sudah merilis sekitar 30-an courses. Mungkin teman-teman bingung, kenapa kok lebih banyak di Skillshare dibandingkan degan Udemy. Hal ini karena satu course yang ada di Udemy saya biasa pecah menjadi 3 sampai 5 courses yang lebih pendek untuk platform Skillshare.

Selain di 2 platforms ini, saya juga diundang oleh lusinan platforms lain untuk menjadi penyedia online course di platforms mereka. Beberapa platforms tersebut adalah “CyberU”, “Reed.co.uk”, “Cubebrush”, “Artstation”, “LearnFly”, “one education”, “wingfox” dan sebagainya.

Sampai saat ini total murid saya di seluruh dunia sudah mencapai 100.000 orang lebih. Dengan total rata-rata rating 4.5 bintang. Dan total konten pelajaran saya yang ditonton murid sudah lebih dari 5 juta menit.

Apa saja langkah-langkah awal yang perlu diambil bagi seseorang yang ingin menjadi course creator sukses?

Kalau dikatakan “sukses”, sebenarnya relatif ya. Jujur saya sendiri masih struggle, jadi merasa belum pantaslah kalau dikatakan sukses. Ini sebagai gambaran saja. Udemy Indonesia dulu pernah mengundang seorang top Udemy author jadi pembicara webinar via zoom. Namanya Mr. Nedko. Beliau asli orang Bulgaria, tapi membuat courses hanya in English dan dijual secara internasional. Saat webinar itu, dia live share screen dan buka-bukaan dengan penghasilannya. Salah satu dari top course miliknya, itu menghasilkan sekitar 150 juta kalau dirupiahkan. Sedangkan dia punya puluhan courses. Kalau tidak salah sekitar 70 an online courses di Udemy saja. Belum dihitung yang dia publish di platform lain. Jadi bisa kita bayangkan berapa besar penghasilan bulannya. Kemungkinan sudah milyaran rupiah.

Jika dibandingkan dengan saya. Dari semua courses yang saya punya dan dari semua platforms yang ada, digabung semua, itu barely menyentuh 100 juta per bulan. Memang pernah ada di atas 90 juta rupiah per bulan, dan pernah juga 2 bulan menembus 100 juta, tapi jujur itu hanya selama pandemi saja. Yaitu selama 3 tahun, dari tahun 2020, 2021 hingga 2022. Setelah itu sejak tahun 2023 kembali turun lagi. Jadi kalau dibandingkan dengan penghasilan Mr. Nedko tadi atau top Udemy author lain saya masih jauh sekali. Memang, mungkin, kalau dibandingkan dengan Udemy author di Indonesia saja, sudah lumayan di atas rata-rata. Tapi to be fair, karena konten saya mostly in English, adilnya dibandingkan dengan top author in English juga.

Maksud saya menceritakan ini adalah untuk memberikan gambaran bahwa potensi online course itu sangat besar kalau kita mau serius menekuninya. Rekan-rekan mungkin sering mendengar berita tentang besarnya penghasilan YouTuber atau influencer ternama. Memang penghasilan dari YouTube ads mereka sangat besar. Tapi tidak banyak yang tahu kalau penghasilan mereka dari online course ternyata jauh lebih besar lagi. Memang, tidak semua YouTuber menjual online course. Tapi bagi mereka yang menjualnya, angka penghasilan mereka dari online courses itu lebih fantastis lagi.

Sebagai contoh saja. Sebagian dari teman-teman mungkin pernah ada yang mengikuti blog SPI “smart passive income” atau podcast-nya Pat Flynn. Dia share penghasilannya di bulan Desember 2017. Dari YouTube ads dia hanya dapat sekitar 3.5 juta rupiah. Tapi dari online course-nya, ini dari salah satu online course-nya saja, dia menghasilkan 600 juta rupiah. Contoh lain, Ali Abdal. Salah satu YouTuber terkenal dengan lebih dari 5 juta subscribers. Di blognya sendiri dia memberikan laporan. Pendapatan per bulannya dari YouTube ads itu 180 juta rupiah. Sedangkan pendapatannya dari online courses 1.2 miliar kalau dirupiahkan.

Kembali ke pertanyaan yang tadi, lalu langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk membuat online course yang berkualitas. Kalau pertanyaannya adalah berupa workflow atau bagaimana alur kerjanya. Langkah pertama adalah menentukan topik kursus yang ingin kita buat. Kemudian mencari bahan-bahan pelajarannya. Lalu menuliskan kurikulum berikut skrip pelajarannya. Kemudian merekam audionya. Baru kemudian merekam videonya. Yang terakhir adalah menggabungkan semuanya dalam proses video editing.

Nah kalau saya ditanya, mana proses yang paling penting dari itu semua? Jawabannya adalah, sebenarnya semuanya penting. Semuanya pasti berkontribusi pada baik tidaknya kualitas akhir dari online course kita. Tapi kalau saya harus memilih mana yang paling penting, maka yang paling penting adalah skrip. Membuat online course sebenarnya tidak berbeda jauh dengan membuat proyek video atau film. Sebuah film, tentunya semua elemennya berperan penting. Aktornya, visual efeknya, kameranya, sound-nya, dsb. Tapi meskipun itu semuanya kualitas terbaik, kalau skripnya jelek. Bisa dipastikan itu film bakal flop. Entah ceritanya terlalu boring, atau mungkin kebalikannya terlalu tidak masuk akal. Mungkin dialognya norak dan mudah ditebak, dsb. Intinya, skrip sebuah film itu ibarat fondasi dari keseluruhan film. Bila di level skrip sudah gagal, film itu gagal. Visual efek dan aktor tidak akan dapat membantunya. Nah, demikian lah juga online courses. Kita bisa anggap skrip pelajarannya adalah fondasi utamanya tempat elemen-elemen yang lainnya berdiri.

Dalam pengalaman Bapak, apakah ada tantangan khusus yang dihadapi oleh course creator, terutama yang baru memulai?

Sampai sekarang saya sudah mengadakan 7 kali workshop dengan topik seputar pembuatan online courses. Yang pertama di Tangerang. Yang kedua di Depok, yang ketiga di daerah Tebet Jakarta. Yang keempat saya diundang pemprov DKI Jakarta timur. Saya pernah mengadakan di rumah saya sendiri. Yang keenam disponsori oleh Udemy. Dan yang ketujuh itu diadakan oleh Udemy Indonesia dan full via Zoom karena masih kondisi Pandemi. Tapi yang ketujuh ini lebih mirip webinar dibandingkan workshop karena hanya 1.5 jam durasinya. Sedangkan yang sebelumnya itu bisa full day bahkan hingga 2 hari.

Sampai sekarang mungkin sudah sekitar 200 orang yang saya tatar untuk bisa membuat online course. Sebagian ada yang sukses. Sebagian sudah membuat online courses tapi masih struggle. Dan sisanya atau mayoritasnya, sama sekali tidak pernah memulai membuat online course.

Dari semua kasus kesuksesan murid saya dan juga masalah-masalah yang mereka hadapi, beberapa pelajaran yang bisa saya ambil adalah sebagai berikut. Pertama adalah, jangan memilih topik yang pasarnya terlalu kecil. Kalau terlalu niche-down, jumlah yang mencari kursusnya sedikit. Ini berakibat pada jumlah penjualan yang kecil juga. Yang kedua adalah kebalikan yang pertama, yaitu mengambil topik yang terlalu ramai sehingga sudah berdarah-darah atau “red ocean” persaingannya. Sebaiknya kita ambil pasar yang cukup besar tapi persaingan masih rendah. Atau ambil pasar yang ramai tapi ambil angle yang berbeda. Contoh, kursus Photoshop itu sudah sangat tinggi persaingannya. Maka saya ambil angle yang sedikit berbeda, yaitu membuat ilustrasi di Photoshop dengan bantuan vector tools di Illustrator. Intinya saya menghindari membuat kursus dengan judul “Photoshop for beginners” dan yang semisalnya. Perlu dicatat juga bahwa pasar English berbeda dengan pasar bahasa Indonesia. Jadi masing-masing harus kita teliti dulu pasarnya. Kursus yang laku untuk satu pasar belum tentu laku untuk pasar yang lain.

Yang ketiga adalah pentingnya skill menulis. Mayoritas murid saya yang akhirnya tidak jadi membuat kursus online adalah karena mereka tidak bisa menulis kurikulum pelajaran dan atau skrip pelajarannya. Harus diperhatikan juga bahwa saat menulis kurikulum atau script pelajaran, kita harus bisa melihat dari sudut pandang murid yang masih awam. Jelaskan semua hal yang mungkin ditanyakan oleh para murid dari awal. Yang keempat adalah pentingnya menggunakan perangkat recording yang memadai. Silakan Anda kompromi di perangkat kamera kalau memang kursus Anda tentang kegiatan fisik. Tapi jangan pernah kompromi untuk perangkat audio. Sebenarnya masih banyak yang bisa saya sampaikan. Tapi mungkin 4 hal ini sudah cukup untuk kita perhatikan baik-baik jika ingin memulai membuat kursus online.

Bagaimana Bapak memilih topik untuk membuat course? Apakah Bapak berfokus pada minat pribadi atau mengikuti permintaan pasar?

Memilih topik jangan pernah karena minat pribadi, tapi harus karena pasar.

Saya tidak katakan minat itu tidak penting ya. Minat memang penting, tapi bukan dalam hal memilih topik. Kita harus punya 2 minat penting untuk bisa sukses di bisnis online course. Pertama adalah minat dalam menulis. Atau lebih rincinya adalah minat dalam merancang kurikulum dan minat dalam menulis skrip pelajarannya. Yang kedua adalah minat dalam mengajar secara lisan. Itu saja 2 minat yang wajib. Kalau rekan-rekan tidak punya minat sama sekali dalam 2 hal ini, wah bisa stres sendiri nanti saat di tengah jalan saat membuat kursusnya. Karena ya 2 hal atau 2 kegiatan inilah yang akan kita lakukan terus menerus setiap hari. Tapi sekali lagi ini berlaku secara umum, bukan dalam hal menentukan topik.

Nah, untuk menentukan topik, pertama kita harus melihat dulu seberapa besar pasarnya. Cara yang paling mudah adalah dengan menggunakan keyword tools seperti Google Keyword planner atau SEMRUSH. Saran saya adalah kalau jumlah yang search keyword utamanya di bawah 15.000 search per bulan, sebaiknya tidak usah dibuat. Terlalu kecil pasarnya. Kemudian selain keyword utama, ada juga keyword long tail-nya. Pembahasan masalah ini bisa sangat panjang. Intinya adalah pastikan dulu memang ada pasarnya atau ada orang-orang yang mencari topik kursus yang akan kita buat.

Penting juga kita perhatikan negara yang kita targetkan. Kalau target kita Indonesia yang jangan lupa kita setel negaranya ke Indonesia. Tapi kalau internasional, kita bisa gunakan opsi “worldwide” kalau ada, atau setidaknya negara USA sebagai patokan kedua. Karena bisa jadi suatu topik banyak peminatnya dalam bahasa Inggris, tapi sedikit peminatnya di Indonesia. Demikian juga kebalikannya.

Kedua, hal penting yang perlu kita perhatikan adalah persaingan. Kalau pasarnya luas, tapi pemainnya terlalu banyak atau “red ocean”. Sebaiknya kita menghindarinya. Sebaiknya kita memilih pasar yang cukup luas tapi nyaris tidak ada persaingan atau masih “blue ocean”. Contoh, kita bisa menemukan topik yang search tiap bulannya 16-17 ribu per bulan. Tapi belum ada course yang membahasnya. Atau course yang ada sangat buruk kualitasnya.

Untuk memeriksa sengitnya persaingan, jika course kita berbahasa Inggris, kita bisa menggunakan tool yang disediakan Udemy, yaitu “Marketplace insight”. Sayangnya tool ini hanya tersedia untuk 4 bahasa di dunia, yaitu English, Spanish, Portuguese, dan French. Untuk Indonesia tool ini belum tersedia. Untuk konten bahasa Indonesia, kita bisa langsung saja search topiknya di Udemy front page dan melihat jumlah dan kualitas top courses yang ada di halaman pertama dan kedua. Kalau kualitas mereka terlihat buruk dan kita yakin bisa mengalahkan mereka, kita buat online course-nya. Tapi kalau terlihat sangat sulit, sebaiknya kita mencoba topik yang lain.

Yang ketiga. Setelah kita memilih beberapa topik yang potensial, kita bisa membandingkan semuanya dengan menggunakan Google trends. Kita bisa prioritaskan membuat course yang trennya lebih tinggi ketimbang yang lebih rendah. Melalui website Google trends juga kita bisa melihat apakah tren dari topik target kita menanjak atau menurun. Kalau terus menurun dan diperkirakan akan punah 2-3 tahun lagi. Sebaiknya jangan dibuat course-nya.

Sebagai seorang course creator, apa kunci sukses dalam merancang dan menyusun materi kursus?

Pertama kita harus tahu dulu kenapa orang membeli kursus online.

Perlu kita sadari semua bahwa saat ini, semua informasi dapat diakses dengan mudah melalui internet. Hampir semua masalah teknis dapat ditemukan jawabannya dengan Googling atau Youtubing. Saya menggunakan istilah “youtubing” karena saat ini, search engine kedua terbesar setelah Google adalah YouTube.

Jadi saat kita membuat online course, jangan pernah berpikir bahwa apa yang kita jual kepada murid kita adalah ilmu yang sifatnya eksklusif. Murid kita bisa mendapatkan ilmu itu sebenarnya dari mana saja, bahkan dari sumber yang gratis. Lalu, kalau bukan ilmu yang kita jual, lalu apa sebenarnya yang kita jual? Yang kita jual memang ilmu. Tapi nilai jual dari kursus online kita bukan ilmunya. Jadi beda antara yang dijual dengan nilai jualnya. Atau berbeda antara value dengan “perceived value”.

Sejauh pengamatan saya. Ada 3 alasan orang membeli course atau program latihan apapun itu secara umum. Certification, bottom line, dan shortcut.

Maksudnya certification adalah ijazah, gelar, sertifikasi dan sebagainya. Intinya adalah pengakuan akan keahlian tertentu dari pihak yang dianggap berwenang. Kalau BINUS mengadakan survei ke para mahasiswanya. Apa alasan mereka kuliah di BISNUS, saya yakin in sya Allah, 90% dari mereka, kalau tidak 100%, motivasi utamanya adalah mendapatkan ijazah dan gelar. Mungkin mencari ilmu juga iya. Tapi bukan itu motivasi utamanya. Tapi karena untuk mendapatkan ijazah mereka harus menguasai ilmunya, mau tidak mau mereka harus mendapatkan ilmunya. Kenapa saya katakan seperti ini? Karena kalau cari ilmunya saja, banyak kok dijual di toko-toko buku. Mau buku kuliah apa juga ada, bisa kita cari.

Kemudian, yang dimaksud “bottom line” adalah profit atau keuntungan secara finansial. Seberapa besar pengaruhnya course atau program pendidikan Anda terhadap bottom line murid-murid Anda. Ini yang dianggap penting bagi mereka. Mungkin secara tidak langsung. Akan tetapi dapat diproyeksikan ke depan keuntungan finansial apa yang bisa diraih kalau mereka mengambil kursus online Anda.

Yang ketiga adalah “shortcut”. Kalau seorang murid belajar otodidak butuh waktu 1-2 tahun untuk menguasai topik tertentu. Tapi dengan mengikuti kursus yang Anda buat mereka hanya butuh 1-2 pekan, misalnya, tentunya mereka akan memilih untuk membayar dan mengikuti kursus online Anda. Jadi sekali lagi, memang yang Anda jual adalah ilmunya. Tapi “nilai jual” Anda di mata murid Anda bukan di ilmunya, tapi sarana atau jalan pintas untuk menguasai ilmu tersebut.

Kalau online course Anda bisa menyediakan ketiga hal ini sekaligus, maka itu akan luar biasa sekali. Atau setidaknya 2 atau salah satu dari 3 hal ini harus ada pada online course Anda sebagai nilai jualnya. Kalau ketiganya sama sekali absen dari produk online course Anda, jangan harap ada orang yang akan membelinya.

Nah, kembali ke pertanyaannya yaitu bagaimana merancang materi kursus online yang baik. Karena kita harus menciptakan efek “shortcut” ini bagi murid-murid kita. Kurikulum dan script pengajaran yang kita buat haruslah “singkat”, “tepat”, “padat” dan “jelas”.

Yang dimaksud dengan singkat adalah jangan bertele-tele. Kalau kita bisa sampaikan dalam 1 kalimat, ya sampaikan dalam 1 kalimat saja. Tidak usah jadi 4-5 kalimat. Pilih kata-kata yang paling “tepat” untuk menyampaikannya. Yang dimaksud dengan “padat” adalah, kalau materi yang kita sampaikan jadi terlalu pendek, kita bisa padatkan lagi dengan mencari dan menambahkan informasi relevan ke dalamnya yang murid Anda bisa hargai. Yang dimaksud dengan “jelas” adalah menghindari istilah-istilah yang sulit dipahami. Kalau kita ingin menggunakan istilah teknis, silakan. Tapi kita perlu perkenalkan itu secara bertahap.

Setelah menulis skrip materi pelajaran. Cara kita menyampaikan pelajarannya secara lisan juga penting kita perhatikan. Setidaknya moto “singkat” dan “jelas” nya harus tetap kita pertahankan. Saya sendiri, dalam semua online course saya, 90% gap antara satu kalimat dengan kalimat lain maksimal adalah 0.4 detik. Memang ada yang lebih lama dari 0.4 detik, tapi itu biasanya karena harus menunggu gerakan mouse, atau perpindahan sub-chapter.

Bagaimana Bapak mengukur keberhasilan sebuah kursus online? Apa metrik yang paling penting bagi Bapak?

Bagi saya, yang paling penting adalah student’s experience. Bagaimana membuat pengalaman belajar yang terbaik untuk murid-murid saya. Hal ini biasanya tercermin pada star-rating yang mereka berikan. Yang kedua, tentunya adalah bottom line. Atau seberapa banyak course itu bisa menghasilkan profit.

Selama star rating course tersebut masih di atas 4 bintang, biasanya saya anggap kursusnya sukses meskipun tidak menghasilkan penjualan yang memadai. Hal ini biasa terjadi pada beberapa online courses saya yang aslinya memang ditargetkan untuk bukan pasarnya. Misalnya online course Excel saya targetkan untuk pasar Indonesia. Tapi saya buat juga versi English karena tanggung, konten videonya sudah ada, tinggal ganti audionya saja menjadi English. Sebagaimana perkiraan awal, karena pasar internasional sudah sangat red ocean untuk course Excel. Course saya tidak laku. Meskipun mendapatkan rating bintang yang bagus. Kebalikannya dengan seri courses digital painting dengan Krita. Aslinya memang untuk pasar internasional. Tapi saya buatkan juga versi bahasa Indonesianya sekalian. Memang jadi tidak terlalu laku untuk pasar Indonesia, tapi karena rating-nya masih tinggi. Kadang-kadang masih bisa menjaring beberapa murid dalam sebulan.

Bagaimana Bapak mempromosikan kursus Bapak agar lebih dikenal dan menarik minat student?

Selama 8 tahun lebih saya berkecimpung di online courses, saya sudah mencoba banyak sekali strategi marketing yang berbeda-beda. Sebagian ada yang menguras banyak biaya, sebagian ada yang menuntut banyak waktu. Dari semua yang saya coba, hanya sekitar 30% persen yang saya pertahankan. Sisanya atau 70%-nya saya anggap not worthed, karena effortnya terlalu besar jika dibanding outcome-nya. Saya lebih suka fokus pada beberapa kegiatan marketing yang memang saya ukur impact-nya besar dengan effort yang relatif kecil.

Saya jelaskan dulu beberapa metode yang saya sering gunakan karena saya rasa cukup ampuh. Baru kemudian saya akan jelaskan beberapa strategi yang saya tinggalkan.

Setiap selesai menyelesaikan sebuah course dan merilisnya di Udemy dan atau platform lainnya. Biasanya saya akan membuat coupon code free untuk 1000 murid pertama. Saya share itu ke seluruh kontak di lingkaran saya yang pertama yaitu sekitar 2000-an kontak. Kemudian saya share coupon code-nya juga di LinkedIn, Facebook, dan Twitter (X). Tujuannya memberikan 1000 pertama free adalah untuk mendongkrak review, star rating, dan juga word of mouth.

Kemudian saya blast ke semua past students saya di setiap platform, menginformasikan keberadaan course baru tersebut. Biasanya saya tidak menyediakan mereka free coupon code. Tapi hanya berupa diskon saja.

Kemudian strategi berikutnya yang terbukti efektif adalah membuat website atau blog dengan topik khusus atau niche sesuai dengan course kita. Contoh saya membuat website dengan domain kritatutorials.com. Blog ini membahas berbagai tutorial seputar Krita. Karena nama domainnya sudah mengandung keyword, secara SEO jadi lebih mudah mendapatkan rangking. Nah, di website ini kita menyediakan lead magnet berupa ebook PDF. Kita gunakan untuk mengumpulkan prospek email. Setelah itu kita bisa kirimkan email otomatis. 3 email values. Kemudian 1 email sales. 3 email values lagi. Dan 1 email sales lagi. Kadang-kadang kita bisa mengadakan promo khusus kita bisa blast ke email list kita.

Nah perlu dicatat bahwa sejak Google update awal bulan April 2024 (HCU), strategi niche blog ini mungkin tidak akan efektif atau seefektif dulu. Karena hal ini pun saya rasakan pada niche blog saya yang lain yang membahas ilmu komputer dan Excel. Jadi, dalam hal ini perlu kita lihat lagi ke depan perkembangannya.

Strategi efektif berikutnya adalah membuat crash-course atau short-course di YouTube yang membahas materi pelajarannya dari dasar sekali sampai mampu membuat sesuatu. Short course ini dibuat maksimal 1 jam saja. Dan di dalam konten short-course ini kita selipkan maksimal 3 kali soft-selling ke course kita yang berbayar. Lebih efektif lagi kalau kita menggunakan Google ads untuk mempromosikan short course ini. Teknik ini juga efektif sekali untuk mendapatkan subscribers baru di YouTube.

Beberapa strategi saya yang gagal adalah berusaha membuat news portal dalam topik tertentu dengan harapan secara perlahan dapat menarik perhatian banyak calon pembeli course. Strategi ini mungkin cocok untuk jangka panjang, atau 5 tahun lebih dan untuk perusahaan media dengan modal yang besar. Tapi untuk saya yang masih solopreneur, strategi ini terlalu mahal dan lama untuk menuai hasilnya.

Strategi yang saya anggap gagal juga adalah membuat free short courses di Udemy. Ini mungkin mirip dengan strategi MOOC-ya BINUS. Tapi ini tidak bekerja buat saya. Intinya adalah, dari course saya yang panjang. Saya ambil bagian awalnya saja di bawah 2 jam. Kemudian menjadikannya free course. Di akhir course tersebut kita melakukan promosi ke course kita yang full yang berbayar. Entah kenapa, free courses itu attract the wrong people. Course saya yang berbayar dapat star rating di atas 4.5. Tapi versi free-nya dapat di bawah 4 bintang. Entah mungkin orang kecewa karena tidak bisa belajar sepenuhnya. Atau mungkin kebanyakan orang jadi kurang respect dengan produk kita kalau kita buat produknya free. Wallaahua’lam saya tidak teliti lebih jauh dengan survei dan sebagainya. Tapi saya tidak mau membahayakan reputasi atau rating saya secara umum sebagai author hanya gara-gara free short courses.

Strategi marketing yang masih saya uji coba adalah outbound marketing, atau lebih spesifiknya “cold emailing”. Saya baru sebulan ini mencoba strateginya, jadi belum bisa dipastikan efektivitasnya.

Apa saran Anda bagi mereka yang baru memulai sebagai course creator ?

Saran-saran saya mungkin berupa rangkuman saja sari semua yang saya sampaikan tadi. Pertama adalah, sebelum memutuskan untuk membuat suatu course, pastikan dulu apakah topiknya memiliki pasar yang cukup besar. Yang kedua, perlu perhatian ekstra saat menyusun kurikulum atau skrip pelajaran. Jangan sampai ada 1 detik pun peserta ajar merasa membuang-buang waktu mereka mengikuti online course kita. Yang ketiga jangan pelit investasi perangkat audio. Pastikan kita menggunakan microphone standar recording sehingga peserta nyaman mendengarkan materi pelajarannya.